Aku terduduk diam berlatar drama dan tarian cinta dibawah hujan. Hanya terdiam. Hanya melihat mereka sedang asyik bergumul. Terduduk pada sebuah tempat untuk menunggu serupa halte bis. Berpayung sebuah besi yang dirangkai bersama seng berlipit bagai tekstur makanan ringan yang terbuat dari kentang. Dua benda itu berkolaborasi melindungi siapa saja yang sedang menunggu di tempat yang sama seperti diriku yang tak menahu menunggu apa. Aku tak mau menyebut diriku menunggu cinta. Karena cinta, yang kutahu justru membuatu menjadi manusia yang lemah. Menyedihkan. Aku benci cinta. Namun, aku juga menginginkkanya hingga membuatku terduduk diam disini.
Aku tak akan pernah mengingkari diriku sendiri jika aku masih mengharapkan dirimu datang kembali. Namun, aku juga tak mengingkari aku akan menerima sosok lain yang muncul disini-yang sesuai dengan apa yang aku inginkan ketika aku menunggu di tempat ini. Di tempat aku menunggu di bawah hujan yang menggila. Hujan menggila yang merupakan episode demi episode drama dan tarian persetubuhan cinta air dan bumi.
Sudah berjam-jam aku terdiam di tempat yang sama. Aku sudah lupa berapa jam aku duduk disini. Jadi, alangkah lebih baik jika aku menyebutnya berjam-jam saja. Aku akan bercerita, sudah beberapa sosok yang datang menghampiriku. Beberapa yang kumaksud juga memiliki nasib pengertian yang sama dengan berjam-jam yang aku bilang barusan. Aku tak bisa menemukan apapun dari sosok mereka yang menemukan keberadaanku berlindung di bawah hujan di tempat ini. Mungkin sebenarnya mereka memilikinya. Dengan kadar yang berbeda-beda. Dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Perbedaan itu seharusnya merupakan sebuah keunikan. Namun keunikan dari perbedaan itu tak ada satupun yang mampu menggetarkan.
Aku mulai sedikit latah mengikuti apa yang dilakukan oleh awan. Awan menjatuhkan air ke bumi. Awan yang kupunya menjatuhkan air mata. Tak terbendung. Aku begitu kesal. Aku begitu lelah. Aku begitu marah. Aku begitu terpuruk. Tubuhku lemas. Angin sudah terlalu banyak meraja merasuki ragaku. Salahku sendiri memakai baju berbahan kain sheer saat hujan lebat seperti ini. Semua hal terjadi tanpa bantuan akal pikirku, hanya demi sebuah kata yang aku lakukan, menunggu. Menunggu sesuatu yang entahlah, kini aku tak bisa mengidentifikasi aku sedang menunggu apa. Badanku semakin lemas. Terjerembab dalam sebuah kepiluan yang begitu menggila. Lemas, hingga aku tak kuat menahan tubuhku sendiri. Bersujud sambil berusaha untuk berdiri di tempat yang masih sama. Aku menyerah. Badanku sudah menolak untuk diajak menunggu. Dengan susah payah aku berusaha berdiri dari badanku yang semakin lama semakin lemah. Aku berusaha meyakinkan diriku agar aku kuat untuk berdiri. Berjalan pelan dengan bertumpu memegang tiang yang tepahat di tempatku menunggu. Aku sudah akan meninggalkan tempat ini. Aku sudah lelah. Bahkan, kau sendiri pun tak muncul di hadapanku.
Sebuah cahaya berpendar dari belakang tempatku berdiri yang sudah bersiap meninggalkan tempat ini. Aku tak akan menoleh, mengintipnya tidak akan pernah sudi aku lakukan. Tahukah, kalau aku sudah lelah?. Biarkan saja cahaya itu yang menepuk pundak-ku. Biarkan saja cahaya itu yang menyapaku. Cahaya yang datang bersamaan dengan kepuasan orgasme persetubuhan air hujan dan bumi, Matahari terbit dengan terang seterang cahaya itu. Biarkan saja cahaya itu yang memberikan cinta. Karena lebih baik cinta itu tidak untuk ditunggu. Cinta bukan bis yang kita tunggu untuk mengantar kita ke suatu tempat. Cintu itu apa ?. DAMN. Katanya Suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar