Menu

Rabu, 22 Februari 2012

Jet Lag

Pierre
Man, I can’t feel my own butt! Rasanya bebas sekali, setelah duduk dua puluhan jam di pesawat. Resiko terbang lintas benua ya, Jakarta – London harus ditempuh total terbang dua puluhan jam dan dua kali transit di dua Negara berbeda: Singapore dan Finlandia (Helsinki). That was so tiring flight ever, but…. Tiba-tiba aku tersenyum sendiri dan melupakan kepenatan luar biasa yang kurasakan. Segera aku mengeluarkan IPhone yang sedari tadi masih berada di dalam day pack ku. Men dial nomer itu, dan butuh lima kali nada panggil sebelum akhirnya dia menjawab.
“Pierre! Where are you now? Sudah sampai London?” selalu ada energy lebih yang dikirimkan suara itu, dan sekarang otomatis aku bangkit dan terduduk di ranjang ku setelah sebelumnya rebahan.
“Natasha, I miss you already. I just arrived at my flat about twenty minutes ago. Tadi sampai di Heathrow sekitar jam setengah satu siang. And now is three o’clock at my flat. Disana pasti sudah malam yah? Hoaaahhhmmm…” Natasha di ujung sana tiba-tiba tertawa geli mendengar suaraku menguap.
“Hey, what’s funny?” protesku
“You are getting jet lag, honey, masa jam tiga sore sudah ngantuk. Well, either you are jet lag or too tired, but I guess you have to take a rest. Capek banget ya, sayang?” aku mendengar gadisku itu dengan penuh perhatian. God, I miss her already, padahal baru kemarin kami berpisah di Bandara Internasional Soekarno – Hatta saat dia melepas keberangkatanku kembali ke London dengan pesawat Garuda Indonesia.
“Aku memang capek banget, sayang, tapi rasa capek ku ini nggak lebih besar dari kangen ku sama kamu. Aduh, ini gimana baru sehari berpisah sudah kangen?” aku berpura-pura merajuk sambil menunggu reaksinya and yes, she laugh again.
“You are gombal-ing me, haha!! Masih ingat arti kata menggombal, kan? Not that I’m not missing you too, but you are really need some rest now, dear. Mandi air hangat, ya!”
Akhirnya aku menuruti pesan Natasha untuk mengakhiri sambungan telpon internasional ini dan mulai berbenah sebelum beristirahat. Saat membongkar koper, aku tersenyum menemukan beberapa barang yang diberikan Natasha sebagai kenang kenangan. Ada seplastik besar cemilan yang dia sebut sebagai Keripik Tempe, dan juga Sarung. Aku menimang kain bercorak cokelat kotak-kotak itu sambil membayangkan akan memakainya saat tidur nanti. Oh, How Indonesian I will be… haha!
##
Natasha
Pukul tujuh lewat tiga puluh pagi, membelah jalanan Sudirman yang untungnya hari ini belum terlalu ruwet. Mungkin karena aku berangkat kepagian tadi. Tadi sekitar pukul enam pagi saat aku baru selesai mandi, telpon selularku berdering yang ternyata dari pacar bule ku.
“Hallo Pierre, Good morning… “ sapa ku dengan riang saat mengangkat telpon nya tadi pagi.
“Morning,huh? It’s midnight here.” Suara Pierre terdengar agak parau meski dari nada nya aku tahu dia mencoba untuk tersenyum.
“I couldn’t sleep, Tasha, padahal besok pagi aku harus mulai masuk kantor dan mengerjakan laporan evaluasi selama di Jakarta. Tell me what should I do?”
Dan percakapan selama hampir setengah jam itu diisi dengan aku menjelaskan pada mas bule ku itu bahwa Ia masih terkena sindrom jet lag setelah tinggal di Negara dengan zona waktu yang berbeda selama dua bulan, dan juga pengaruh perjalanan udara yang amat panjang dua hari sebelumnya. Aku memintanya untuk membuat susu hangat dan mengenakan sarung yang aku berikan, juga mendengarkan musik klasik agar Ia segera terlelap. Jika sudah sejam Ia melakukan usaha-usaha itu dan belum juga bisa tidur, aku memintanya untuk menghubungiku kembali. And I guess it worked karena sudah satu jam lebih dia tidak menghubungi ku lagi. Setelah memarkir Honda Jazz ku dengan sempurna di parkiran Wisma Standard Chartered, aku membenahi tasku dan bersiap turun. Sebelum membuka pintu mobil, aku sempatkan mengusap frame kecil yang aku jadikan gantungan di mobil ku. Ada foto ku dan dia, yang kami ambil di sebuah booth foto box di Plasa Semanggi.
“Take care Pierre, I believe that we’ll meet again in no time,” ucapku sambil berharap pesan ini akan sampai padanya yang sekarang sedang terlelap di belahan benua sana.
##
Pierre
‘Jet lag adalah kondisi kelelahan yang berakibat pada gangguan saluran pencernaan, insomnia dan sakit kepala yang terjadi secara bersamaan. Tak sedikit juga yang menganggap jet lag sebagai gangguan ritme tidur sehabis perjalanan jauh melintasi zona waktu dengan cepat.’ Aku mengingat-ingat kembali definisi yang aku baca di sebuah blog setelah aku meng google arti kata ‘jet lag’. Aku mengetuk-ngetuk kepalaku pelan dengan tangan kiri sementara tangan kanan ku memegang mug berisi cappuccino panas sambil meniupinya. Hari ini adalah hari pertama kembali bekerja setelah kantor ku memberi kompensasi libur tiga hari usai bertugas dua bulan di Jakarta. Aku bekerja di kantor pusat London International Bank atau biasa disebut LI-Bank, di bagian Human Resources Development. Dua bulan yang lalu Direktur Personalia menugasiku memberi pelatihan dan pengarahan akan beberapa standar baru yang diterapkan perusahaan. Tiga hari yang diberikan perusahaan aku habiskan untuk mengatasi jet lag, karena terus terang ini adalah perjalanan pertama ku melintasi benua dalam jangka waktu lama. Aku dulu pernah ditugasi ke Dubai, tapi rasanya nggak gini gini amat. Oh yeah tentu saja Pierre, kamu ke Dubai hanya dua minggu dan perbedaan waktu nya nggak se ekstrem dengan di Indonesia. Gangguan pencernaan, insomnia, dan sakit kepala. Semuanya masih aku alami sampai dengan hari ini dan yang paling nggak enak adalah insomnia. Dua hari aku hanya tidur selama tiga jam, memaksa diri bangun pukul tujuh pagi untuk turun dan berjalan-jalan di taman di seberang flat dengan kaki telanjang. Menurut salah satu web yang kubaca, salah satu cara untuk mengatasi keterkejutan fisik akibat jet lag adalah dengan menginjak tanah dengan kaki telanjang. Yeah, it’s quite help, or maybe just my suggestion I don’t know.
Aku menatap laptop ku mencoba melanjutkan menulis laporan evaluasi selama dua bulan di LI-Bank Jakarta, tapi otakku rasanya belum bisa bekerja dengan benar. Alih-alih aku malah meng klik folder pribadi ku dan melihat deretan foto ku dengan Tasha dengan berbagai ekspresi muka lucu. Diambil di sebuah mall dekat kawasan kantor di Jakarta, saat kami menghabiskan waktu usai jam bekerja. It happened just like that. Di tengah-tengah memberikan materi pelatihan pada beberapa karyawan kunci, mata ku tertumbuk dan nggak bisa lepas dari salah satu gadis yang ada disana. Dan demi menjaga profesionalitas, aku menjaga diri untuk tidak langsung menyapanya saat ada break, tapi menunggu sampai jam pulang kerja. Dan kedekatan itu terjadi, saat dia dan beberapa karyawan lain menemaniku menjelajahi Jakarta di hari minggu, sampai insiden mobil kantor yang biasa mengantarku mengalami kerusakan, sehingga Ia yang mengantarkanku kembali ke apartemen yang disewakan untukku. And I felt in love to her, Natasha Novianti, gadis dengan lesung pipit yang manis di kedua pipi nya. Gadis yang bekerja sebagai Accounting Supervisor di LI-Bank Jakarta. Gadis yang dengan telaten mengajariku makan beberapa masakan khas Indonesia. Dan aku benci saat waktu seolah nggak bisa dikontrol untuk berjalan terus dan akhirnya penugasanku di Indonesia selesai. I have to go back to London, and we’re committing to doing this Long Distance Relationship, sampai salah satu diantara kami menyerah dan memutuskan untuk berhenti. And I do really hopes that that time will never come.
##
Enam Bulan Kemudian
Natasha
17.56. Menatap langit senja dari lantai 27 gedung kantor ku. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan tiba-tiba aku merindukannya. Aku mengenang tujuh bulan lalu, saat aku dan Pierre, di jam yang sama seperti ini, sama-sama menikmati detik-detik sunset di saat break dari pelatihan yang Ia berikan. Kami sama-sama menggenggam sebuah mug. Cokelat panas di tangan kiri ku, cappuccino hangat di cengkeraman jemari kanan nya.
“Langit Jakarta indah banget ya, pas lagi sunset,” ujarmu dengan tersenyum. Dan kita bicara tentang banyak hal, mulai dari kemacetan Jakarta, kebiasaan pegawai LI-Bank pusat di saat lembur, sampai kebiasaanku menggunakan tangan kiri alias kidal. Katamu itu sebuah hal yang lucu, karena justru biasanya orang-orang barat yang menggunakan tangan kiri, tapi ini malah kamu terbiasa menggunakan tangan kanan sedangkan aku orang Asia malah menggunakan tangan kiri.
“I miss you, Pierre,” desis ku. Lantas tangan ku merogoh Blackbbery di saku kiri blazer ku, men speed dial nama mu. Sambil mendengar nada tunggu, aku melirik arloji ku dan menghitung mundur sebanyak tujuh jam. Seharusnya disana jam sebelas siang, dan Pierre mungkin masih sibuk bekerja.
Di nada tunggu ke tujuh dan akhirnya panggilan telponku tersambung.
“Haw.. loo.. “ aku mengernyit mendengar suaramu yang seolah bercampur dengan menguap.
“Pierre, what are you doing? You don’t sleep at your office right? Ini bahkan belum jam makan siang,” sambut ku ceria.
“Darling, hari ini aku nggak ngantor, disini tanggal merah.” Jawab nya.
“Oh,” ujarku maklum.
“So what’s up dear? Kalau nggak salah di Jakarta sekarang jam… one… two... three… “ aku mendengar Pierre menghitung sambil tersenyum memandangi matahari yang mulai turun.
“Disana jam enam sore, kan? Kamu masih di kantor?” tanya nya setelah selesai berhitung.
“Yeah, sebentar lagi mau pulang. It’s sunset here and I remembering you. Masih ingat waktu kita ngobrol berdua sambil memandangi sunset? I miss you, Pierre… ”
Aku mendengar suara tawa kecil nya diujung sana, dan betapa ingin aku melihatnya langsung, dagu yang selalu terangkat keatas saat tertawa, menunjukkan rahangnya yang kokoh penunjang ketampanan nya.
“Kok, aku nggak kangen kamu,ya?” aku cemberut mendengarnya menggodaku, aku tahu pasti dia nggak serius.
“Aku nggak kangen kamu, karena aku tahu we’ll meet again in no time, dear,” sambung nya yang segera kuamini.
“No, listen to me, It’s not only a prayer, but God already answered my wish. I’ll be meeting you soon, and I guess I will be in Jakarta for a long time.” Kali ini aku terbelalak mendengar kalimatnya, dan spontan menegakkan tubuhku.
“Apa maksud kamu, Pierre?” tanyaku tak sabar.
“Yeah, sebenarnya aku menunggu untuk menyampaikan kabar ini saat ulang tahunmu dua minggu lagi, tapi sepertinya mendengar suaramu tadi aku jadi nggak sabar. So, well... Direktur mempromosikanku menjadi Regional Manager di Asia Tenggara, karena Ia menilai sangat baik pelatihan yang aku berikan di Jakarta delapan bulan lalu. And as you know that LI-Bank South East Asian Office is in Jakarta, I will be assisted in Jakarta. Sekarang sedang diurus berkas penugasannya dan juga visa dan sebagainya. I guess, we’ll meet at early January, karena aku masih minta ijin merayakan Natal bersama keluarga ku di Manchester.”
Aku mencubit-cubit lenganku sendiri untuk memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Syaraf di lenganku mengirimkan sinyal kesakitan, dan aku justru senang sendiri karena nya. Karena itu berarti, aku nggak bermimpi…..
“Tasha, are you still there? Helloooo….”
##
08 Januari 2012, ruang tunggu kedatangan Internasional Bandara Soekarno Hatta.
Natasha
Rasanya masih seperti mimpi, setelah sembilan bulan menjalin hubungan dengan Pierre dan hanya sebulan yang dilalui bersama, karena delapan bulan selanjutnya kami harus berhubungan jarak jauh, kini Pierre akan kembali dekat denganku. Delapan bulan bukan waktu yang singkat untuk terus berkomitmen LDR, karena ini pertama kalinya aku berpacaran jarak jauh. And for those times, I’ve been working like a dog to distract my feeling of missing him. Kita juga nggak bisa setiap minggu melakukan percakapan telpon, chatting pun sering terhalang dengan kerjaan dan zona waktu. Yeah, kamu bayangkan saja rasanya setiap akan menghubungi pacar sendiri yang walau hanya lewat dunia maya, kamu harus menghitung mundur waktu tujuh jam untuk memastikan kira-kira sedang apa dia disana. Apakah masih sibuk bekerja, apakah sedang beristirahat, atau yang lain nya. Betapa idiom ‘memandang bulan yang sama’ pun nggak berlaku buat kalian. Karena di saat kamu sedang memandangi bulan di malam hari, disana kekasihmu masih menikmati panas nya sinar matahari. We used to lives in the different horizon, but sharing the same love. Dan beberapa jam lagi, kita akan bersama lagi. I can’t help myself to smiling from ear to ear. This is what I called: Happiness.
08 Januari 2012, Changi International Airport – Singapore
Finally I transit at Singapore, satu perhentian transit terakhir sebelum akhirnya benar-benar menginjak Jakarta. Tubuhku lelah luar biasa setelah belasan jam di udara. Perjalanan lintas benua kedua yang aku lakukan sejak sembilan bulan lalu. Oh, berarti ini kedua kalinya aku mengalami Jet lag, but who cares? Kelelahan fisik ini nggak sebanding dengan kebahagiaanku akan bertemu lagi dengan Natasha, my girl. Finally we’ll see sunset together again, dan bahkan bukan nggak mungkin, sunrise. I smile while I take out a little box from my day pack. I open that blue little box, and I can see a glowing sapphire from a ring. Dear Natasha, I’ll propose you as my wife, but first we will engage. My family had known about you from my story and they agree to put you in our family list, as their daughter-in-law. Aku memandangi cincin itu saat aku mendengar alunan lagu dari Ipod milik pemuda di sebelah ku. Lirik lagunya membuat ku tergelak, dan segera mengingatkan ku pada Natasha…

Artikel Terkait Lainnya :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar