Aku ingat. Ingat sekali. Bagaimana mereka memperlakukanku. Bagaimana mereka menyebutku. Masalah.
Juga aku ingat, bagaimana aku tengah melangkahkan kaki gontaiku pada sebuah perkarangan. Aku ingat, tawa dan senyum manis gadis kecilku yang akan ku kenang selalu. Ku kira tawanya ditunjukkan padaku, melambai pelan dan hangat serta ramah dan tamah.
Akan tetapi, hatiku perih setiap kali ku kenang, bagaimana aku berdiri tepat di hadapan gadis kecilku, dengan suara parau, lemah namun lembut ia bertanya padaku, "Bapak siapa?"
Aku ingat, bagaimana wanita berengsek itu menghianatiku, mengambil semua yang menjadi milikku. Hartaku, kehormatanku, juga gadis kecilku. Aku menyeringai, menyerangnya dengan segala kemampuanku. Namun ia terlampau licik, menggunakan alibi palsu untuk mengelak dan balik menyerangku dengan sebuah tuduhan yang tak beralasan. Tuduhan kematian seorang teman terdekatku, yang jelas bahwa aku tak ada sangkut pautnya dengan kematiannya. Namun, sebagai orang terakhir yang berhubungan dengannya aku tak bisa mengelak dari segala tuduhan.
Kini, dengan sebuah rantai kasat mata yang membelenggu kaki dan tanganku, aku tak berkutik. Semua mata mencariku. Menyanyai namaku dimana-mana. Anjing-anjing memburuku, mengendus bauku dan melacaknya hingga pelosok kota.
Aku tak lebih dari sampah masyarakat sekarang, tidak lebih!
"Aku sudah tak tahan, James," temanku mengeluh. Aku ingat saat itu, kami berdua tengah berada di sebuah bar kecil, meneguk bir seperti biasanya. Melepas seluruh beban hari dan berbicara santai dan bertopik ringan. Namun kali ini berbeda.
"Tak tahan--tak tahan apa?" tanyaku dengan nada sopan dan masih beretika agar tak menyinggung perasaan rapuhnya.
"Hidupku. Hidupku tak lebih dari seekor gagak liar tanpa sayap. Hidupku sudah tamat sekarang," jawabnya.
"Kau bercanda, bukan?" aku sangat tak percaya apa yang ia katakan. Apa yang baru saja ia katakan, bukan seperti seorang teman yang ku kenal. Baik, pintar, ramah, pengertian dan asa sekeras baja.
Temanku menggeleng. "Pernahkah kau bertanya mengapa kau ada di dunia ini, James?"
"Tidak."
"Kemana kita akan pergi setelah kehidupan ini? Apa yang ada di atasnya, dan apa juga yang ada di bawahnya?"
Aku menggeleng tak mengerti apa yang digumamkan temanku ini.
"Mereka mengatakan kesempatan hanya sekali. Sebuah lompatan pendek yang akan memaknaimu, kehidupan. Hanya kehidupan di sini dan kini. Namun pernahkah kau bertanya? Apakah hanya ini yang kita dapatkan?"
Aku memilih tak bergeming. Tak bergerak seraya memasang wajah antusiasku. Karena memang aku antusias mendengarnya.
"Kau dan aku, kita mungkin tak akan pernah tahu jawabannya. Kita mungkin tak akan pernah mengerti. Kita tak akan pernah membuktikannya. Tapi kita tahu, kita harus mencobanya, bukan?"
Aku mengangguk pelan. Ceramahnya telah meresap ke benakku. Benar-benar meresap, membuat kata-katanya lebih dari sebuah inspirasi, melainkan menjadi teori serta asas-asas dalam alam pikirku. Begitu dalam.
"Jika kau hendak mempertanyakan hidupmu kelak, James, ingatlah kata-kataku ini. Aku pernah takut akan kematian. Membuatku menggigil dan merinding setiap kali kubayangkan. Namun kini, hal itu tak akan membuatku takut lagi. Karena, setelah kita pergi, James, aku percaya, jiwa kita akan terus bertahan. Terus berjalan melintasi dimensi ini, hingga bernaung dan hinggap pada sebuah benih, dan akan menjadi sebuah individu baru serta kehidupan baru, yang akan menjadi lebih baik dari sekarang."
Kata-kata sebelum kepergiannya, terngiang jelas di benakku.
Kini, saatnya ku pertanyakan kehidupanku, yang antah berantah, ku kenang kembali setiap kata-katanya. Juga nadanya ketika ia berucap, sungguh berwibawa. Aku mengerti kini, apa yang ia maksud. Aku lebih jernih sekarang, juga lebih dekat pada makna yang ia berikan padaku. Mengalir jernih membasahi jiwa rapuhku, mengeras dan membentuk sebuah tekad dan keputusan. Keputusan yang tak akan kusesali seumur hidupku.
"Jika aku mati besok,
Aku akan baik-baik saja,
Karena aku percaya,
Setelah kita pergi,
Jiwa kan tetap bertahan."
Anganku kini teguh, menggerakan setiap kakiku dengan lembut. Tak pernah sedekat ini dengan kematian. Hangat, namun dingin rasanya. Serasa angin sepoi-sepoi gurun menerpaku dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku telah naik di kursi mimbar kehidupanku, dan bersiap dengan simpul talinya.
"Aku sudah siap..." batinku. Bisikan teguh yang merengut segala ketakutan dalam sanubariku.
Kusadari tatapanku kosong. Tanganku menggenggam erat tali yang tergantung dengan tenang. Pikiranku jernih, dan telah ribuan kali kupikirkan ini. Keputusanku sudah bulat dan kuyakin ini adalah jalan terakhir.
"Aku sudah siap..." tegasku sekali lagi.
Kugantung leherku ke simpul tali. Ku lempar jauh-jauh kursi yang menopangku. Serasa melempar semua masalah yang meringkukku. Bebas!
Rasanya tercekik. Sakit, namun rasanya lebih lega dari sebelumnya. Mataku melotot, aku tahu itu. Nafasku tersengat, perih di tenggorokan. Pikiranku liar entah kemana, merambat ke medium dan dimensi lain, ke sebuah adegan dimana latar menjadi putih semua, seputih cahaya.
Aku merasa aman dalam cahaya yang mengelilingiku
Melepaskan segala ketakutan dan kesakitan
Pertanyaan dalam benakku
Telah membantuku untuk menemukan
Makna dari hidupku kembali
Gadisku itu nyata
Akhirnya ku merasakan
Dalam kedamaian bersama gadis kecilku tercinta
Dan sekarang saat aku di sini
Semuanya menjadi jelas
Ku temukan maksud dari semua ini
Jika aku mati besok
Aku akan baik-baik saja
Karena aku percaya
Setelah kita pergi
Jiwa kan tetap bertahan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar