Menu

Selasa, 21 Februari 2012

New Colors

Di dunia ini, ada banyak pertanyaan yang seringkali terlintas di kepala, tapi tidak pernah sekalipun terlontar keluar. Pertanyaan-pertanyaan itu, mungkin, pernah terlintas dalam benak setiap orang yang hidup di dunia ini. Pertanyaan yang klasik, yang membosankan, yang jarang diperdengarkan kepada manusia lain.

Dan pertanyaan itu, biasanya, mempunyai jawaban masing-masing untuk tiap orang. Tiap manusia. Atau bisa jadi untuk tiap makhluk.

‘Kenapa aku hidup di dunia ini?’

‘Apa itu realita? Apa itu fakta?’

‘Mana yang benar? Mana yang salah?’

‘Kebenaran itu apa? Kebohongan itu apa?’

‘Untuk apa aku hidup?’

Aku tidak pernah tertarik dengan yang namanya filosofi atau sebangsanya. Tapi pertanyaan-pertanyaan trivial seperti itu bukan pertama kalinya muncul dalam pikiranku. Dan aku tidak akan heran kalau kenyataannya banyak juga yang bertanya seperti itu dalam pikiran mereka.

Dalam dunia yang abu-abu seperti ini. Dimana yang benar dan salah mempunyai makna yang sangat ambigu. Dimana atas dan bawah tidak bisa ditentukan dengan mudah seperti halnya langit dan bumi. Dimana hitam dan putih selalu bercampur menjadi warna-warni yang abstrak.

Siapa yang tidak akan mempertanyakan itu? Walaupun jawabannya, pada akhirnya, selalu tergantung pada opini dan pendapat masing-masing orang. Karena di dunia ini tidak ada yang pasti. Bahkan pelajaran matematika atau IPA, yang seringkali didengungkan sebagai ilmu pasti pun juga tidak pasti.

Berapa banyak penyempurnaan teori dalam ilmu fisika? Atau Kimia? Berapa banyak cara dalam matematika untuk mencapai jawaban yang benar?

Kadang, aku merasa bahwa yang pasti di dunia ini hanya waktu. Waktu selalu berputar. Maju. Tidak akan pernah kembali. Tidak pernah mundur ke belakang. Serta tidak pernah berbalik arah.

Lupakan soal mesin waktu. Mimpi kekanakan seperti itu, mustahil ada dalam dunia ini. Paparkan saja semua teori fisika yang mendukung kemungkinan adanya mesin waktu dan aku tetap tidak akan percaya. Waktu itu absolut. Sekarang adalah sekarang. Hal itu, tidak akan pernah berubah.


Di bawah langit sore hari ini, aku lagi-lagi memikirkan hal yang sangat sepele dan tidak penting. Siapa yang peduli dengan pendapatku soal mesin waktu, ilmuwan fisika gila yang terlalu banyak bermimpi pasti tetap akan berusaha membuatnya. Siapa yang peduli soal pasti dan tidak pasti, dunia ini penuh dengan ketidak pastian itu sudah pengetahuan umum. Bahkan anak kecil umur sepuluh tahun pun tahu hal itu.

“Kamu lagi mikir apa? Komat-kamit nggak jelas mulu dari tadi. Kayak orang lagi baca mantra aja. Jangan bilang kalau kamu lagi berusaha melet atau nyantet orang.”

Aku menengok sedikit ke samping kiriku. Melihat gadis teman masa kecilku—tapi bohong, dia cuma teman dekatku di SMA ini—memandangku dengan tatapannya yang biasa. Biasa, tapi bisa membuatku ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk lalu menceburkan diri ke dalam kolam dan bertemu dengan putri duyung di dasarnya.

“Aku cuma lagi mikir soal masa depan.”

Tidak bohong. Karena masa depan juga termasuk dalam waktu.

“Ah ya. Sebentar lagi kita lulus ya.”

Dia berkata sambil menerawang. Rambutnya yang berwarna hitam, dengan sedikit efek kemerahan akibat terkena sinar matahari senja, tertiup angin semilir yang berhembus. Jangan bayangkan ini seperti adegan dalam iklan shampoo ataupun sinetron pelit budget, karena yang natural selalu terlihat lebih indah. Aku menahan napas. Merasa darahku mengalir semua ke kepala.

Seriously,

Dunia ini penuh dengan ketidak pastian (Aku sudah bilang hal itu tadi). Semua orang tahu hal itu (Aku juga sudah bilang hal itu tadi). Tapi satu hal yang paling tidak pasti di dunia ini, menurutku, adalah soal... cinta.


True love. Cinta sejati. Cinta yang sebenarnya. Siapa yang mengerti soal itu? Siapa yang bisa membuat rumusnya? Siapa yang tahu alat pengukur mana yang paling tepat untuk membuktikannya?

Oh God,

Dalam tiga tahun masa SMA-ku, masa yang kata orang adalah masa paling menyenangkan dalam kehidupan sekolah, aku sama sekali tidak pernah menyangka harus merasakan perasaan menyebalkan ini pada akhir tahunku di SMA. Dan orang yang menjadi subjeknya, adalah gadis yang sekarang sedang berjalan di sampingku dengan langkah teratur. Tanpa mengetahui bagaimana perasaanku saat ini. Tanpa mengetahui pikiran apa yang sekarang sedang bergolak dalam kepalaku.

Aku ingin tertawa. Sekeras-kerasnya. Atau apapun yang bisa kulakukan untuk menghilangkan luapan aneh menyesakkan dalam dadaku. Karena dalam abu-abunya kehidupanku selama belasan tahun ini, aku sama sekali belum pernah merasakan perasaaan semacam ini. Aku tidak akan mengatakan kalimat cheesy menjijikkan seperti ‘dia adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku seperti ini’ atau semacamnya.

Karena siapa yang tahu.. di masa depan nanti akan jadi seperti apa. Satu yang bisa kujanjikan hanya, kalau dia ternyata memang untukku, aku berharap aku akan terus men—uh—cintainya sampai kapanpun.


Ah ya, tadi aku bilang kalau aku akan melakukan apapun untuk bisa menghilangkan luapan aneh menyesakkan yang ada dalam dadaku kan? Aku serius. Aku akan melakukan apapun.

“Hei.”

“Hm~?”

“Aku menyukaimu.”

...

Dan begitulah, aku melangkah keluar dalam kehidupanku yang abu-abu. Dunia boleh saja penuh dengan pertanyaan, tapi aku hanya akan mengatakan pernyataan yang ada dalam hatiku. Jawaban yang sudah kutemukan untuk diriku sendiri. Warna yang ingin kutemukan dalam hidupku.

Artikel Terkait Lainnya :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar