“Hari-hari yang selama ini kuhabiskan denganmu, bila kau bertanya apakah aku menikmatinya? Apakah semua itu tak berarti untukku? Maka akan kujawab: tidak!”
***
“Kau datang lagi?”
“Yup. Sebab aku merindukanmu, Sayang..”
“Setiap hari kau kemari apa tidak bosan?”
Dia diam, tak ada jawaban. Aku tahu, wanita di hadapanku ini pura-pura tak mendengarku. Dengan langkah malas-malasan kulangkahkan kakiku ke kamar, meneruskan tidur yang diganggunya tadi.
“Kau sudah makan, Sayang? Aku bawakan makanan kesukaanmu, sup buntut dan sambal bawang. Aku sendiri yang memasaknya tadi. Ayo, kita makan sama-sama, Sayang.”
“Tidak, aku tak lapar. Aku hanya ingin tidur. Makan saja sendiri.”
Ia tak bicara lagi. Bagus, dengan begitu aku bisa tidur dengan tenang. Tapi baru saja aku sampai di ambang pintu kamarku, kudengar suara tangisan. Sial! Wanita itu menangis. “Kenapa kau menangis? Apa aku berbuat salah lagi padamu?” Wanita itu masih saja menangis, “diamlah! Hentikan tangismu itu, suaramu menggangguku.” Tangis wanita di hadapanku ini semakin keras. Baik! Aku memang sudah keterlaluan.
Kuhampiri wanita cantik yang membuatku tak berdaya ini, dengan lembut kubelai rambut panjangnya kemudian mencium keningnya dengan lembut, “maafkan aku, Fa.”
Wanitaku masih saja menangis, bila sudah begini aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kudekap ia ke dalam pelukanku, “Kau masih marah padaku?” Tanyaku lembut. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai jawaban. Kini tangisnya hanya tinggal isakan, “Kau memaafkanku?” Tanyaku lagi. Ia menganggukkan kepala sebagai jawaban. Melihat sikapnya seperti itu membuatku memeluknya semakin erat.
“Cinta, kamu tahu tidak?”
“Apa?” Tanyanya lirih, hampir aku tak mendengarnya.
“kamu jelek sekali kalau sedang menangis,” mendengar godaanku ia mengerucutkan bibirnya sambil menghapus air matanya, membuatku terkekeh melihat sikapnya itu. “Tapi aku sangat mencintaimu,” tambahku sambil mencium keningnya lagi.
Selama beberapa lama kami hanya diam. Menikmati keheningan yang menyenangkan ini, sampai tiba-tiba Farah melepas pelukanku, seperti menyadari sesuatu ia memeriksa lengan, bahu dan telingaku. “Kau berkelahi lagi?” tanyanya dengan sorot mata tak percaya. Ia diam, menunggu jawabanku. Tapi aku tak berniat menjawab, “lagi-lagi kau mengingkari janjimu,” imbuhnya pelan, membuatku merasa tak nyaman. Dengan cermat ia memeriksa semua luka di tubuhku, “duduklah, lukamu perlu diobati,” katanya lagi sambil mengambil perlengkapan P3K di lemari tengah.
Aku tahu, saat ini ia pasti sedang berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. Ya, aku telah berjanji padanya untuk tak lagi berkelahi, janji yang kesekian kali. Tapi aku tak lagi bisa menepati semua janjiku padanya sejak kutahu semua ini nantinya akan membuatnya terluka.
Ia membersihkan dan mengobati lukaku. Dapat kurasai tangannya gemetar dan kulihat matanya berair, aku tahu, sikapku belakangan ini pasti membuatnya merasa gelisah. Kupalingkan wajah dari menatapnya. Wanitaku, seharusnya kau tak di sini.
***
“Kau belum meninggalkannya?” tanya Doni, sahabat sejak kecilku, sambil terus menatapku. Aku tak menyahut. “Kau tahu bukan, kalau kau terus bersamanya, tindakanmu itu akan membahayakannya?” Aku masih saja diam tak menanggapi. Aku tahu itu, hubunganku dengan Farah memang penuh risiko, bukan buatku, tapi buat Farah. Jika semua musuh-musuhku tahu hubunganku dengan Farah, maka mereka tahu kelemahanku, jika sudah begitu, Farahlah nanti yang akan jadi korban dari kehidupan kerasku. Masih untung sampai sekarang tak ada yang mengetahui hal ini.
Awalnya, aku tak menghiraukan bahaya yang sangat mungkin terjadi, sampai Farah cerita kalau selama beberapa hari ia seperti diikuti oleh seseorang.
“Selama beberapa hari ini seperti ada yang mengikutiku. Aku selalu merasa ada yang mengawasiku, tak hanya ketika sekolah, tapi di mana pun, sampai aku merasa tak nyaman di rumahku sendiri,” keluhnya padaku sore saat hujan itu. Awalnya aku berpikir itu hanya kelakuan orang iseng saja, sampai anak buahku melaporkan kalau geng lawan sedang mencari informasi tentang orang-orang terdekatku, termasuk Farah. Masalahnya, hanya Farah yang ‘buta’ tentang duniaku -meski dia mau mengerti- sekaligus orang yang paling dekat denganku. Farah adalah wanita baik-baik dengan kehidupan yang baik pula, aku yakin kalau sebelumnya tak pernah terlintas dalam benaknya kalau ia akan berhubungan dan berpacaran dengan orang yang tak baik-baik, yang hari-harinya penuh dengan aksi kekerasan sepertiku.
Aku masih ingat dengan jelas sore saat pulang dari sekolah, aku dihadang dan dikeroyok oleh musuhku dan anak buahnya, aku sendirian kala itu, aku kehabisan tenaga dan aku tak bisa lagi melawan. Alhasil, aku babak belur dipukuli oleh mereka. Hingga saat aku mulai kehilangan kesadaran, terdengar suara sirene mobil polisi, itu membuat musuh-musuhku pergi kalang kabut. Aku tak sempat berlari, aku tak mampu berlari untuk menyelamatkan diri dari polisi, aku hanya menunggu saja sampai polisi menangkapku. Kulihat sekeliling, tak ada polisi, suara sirene yang tadi kudengar pun tak terdengar lagi, dan mataku menangkap sesosok wanita cantik berseragam SMU dan berambut panjang menatapku takut-takut sambil memegang ponsel di tangan kanannya, tahulah aku suara sirene tadi berasal dari ponsel wanita itu.
Kutatap wanita cantik yang masih ketakutan itu yang kemudian lari karena melihatku berusaha berdiri. Dia memakai seragam sekolah yang sama dengan sekolahku, itu artinya dia satu sekolah denganku, pikirku.
Esoknya, bersama Doni aku menyusuri semua pelosok sekolah untuk mencari wanita itu, dan kutemukan ia di kelas tari. Dari jendela kulihat wanita yang telah menyelamatkanku kemarin sore tengah menari di tengah ruangan. Dengan rambut panjangnya yang diikat ke atas dan tariannya yang memesona membuat tatapanku tak lepas darinya. Baru kali ini aku benar-benar ‘melihat’ seorang wanita. Dan wanita itu adalah Farah.
***
Sejak aku mendapatkan laporan kalau pihak lawan sedang mencari informasi tentang orang-orang terdekatku, aku suruh anak buahku untuk menjaga Farah ke mana pun ia pergi dan tentunya tanpa sepengetahuannya, sekaligus berusaha sebisa mungkin untuk menjauhinya, tapi aku tahu itu saja tak akan cukup. Jadi kemudian aku putuskan untuk membuatnya benci padaku dengan sikap-sikapku, mulai dari mengacuhkannya, mengingkari janji-janjiku, berbicara dengan nada lebih tinggi dari biasanya, bersikap seolah dia sama sekali tak penting untukku. Tapi aku tak pernah sepenuhnya bisa melakukan itu, aku teramat mencintainya, bagaimana aku bisa bersikap seperti itu? Aku tak pernah bisa melakukan semua itu dengan sempurna, aku pasti akan kembali bersikap seperti dulu bila dia sudah mulai menangis atau kulihat ia teramat sedih. Tapi aku terus saja melakukan sandiwara itu, sandiwara agar wanita yang aku cintai membenciku. Dengan begitu ia akan meninggalkanku, lalu ia akan selamat.
Hingga malam itu,
“Mengapa kau sekarang berubah?! Apa aku berbuat salah padamu? Apa salahku? Tolong katakan padaku agar aku bisa memperbaikinya, lalu kau bisa kembali seperti dulu. Kumohon, beri tahu aku apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatmu berubah sikap seperti sekarang?” Tuntutnya cepat sambil menangis, tapi malam itu aku berhasil mengacuhkannya. “Tolong katakan padaku, mengapa kau diam saja? Aku butuh penjelasan, Rey!”
“Kau ini bicara apa? Tak ada yang berubah dariku. Hentikan tangismu itu, aku tak mau mendengarnya. Pulang sajalah kau!”
“Kau keterlaluan sekali, Rey. Apa arti aku bagimu selama ini?” Tanyanya dengan isak, matanya tak lepas dari menatapku. Dan aku membuang muka, tak mampu menatapnya, dia pasti akan tahu kalau aku hanya bersandiwara. “Apa selama ini tak pernah sekali pun kau menikmati hari-hari yang kau habiskan denganku? Apa hari-hari yang kita lewati bersama tak berarti sama sekali bagimu?”
Aku melihat ke matanya, pasti perkataanku sebentar lagi akan semakin melukainya, pasti perkataanku nanti akan membuat sinar di matanya meredup. Tapi aku harus melakukannya, demi dirinya, wanitaku.
“Hari-hari yang selama ini kuhabiskan denganmu, bila kau bertanya apakah aku menikmatinya? Apakah semua itu tak berarti untukku? Maka akan kujawab: tidak!” Ucapku dengan nada tinggi yang tak kusadari.
Wanitaku berdiri tak bergeming menatapku. Seperti dugaanku, ada luka di matanya. Tanpa berucap ia bergegas mengambil tasnya, kemudian pergi.
***
Kupikir malam itu adalah malam terakhir aku bertemu dengannya, kupikir setelah malam itu, kisah kami pun berakhir, dan dia akan selamat, tapi tidak. Wanitaku itu ternyata orang yang tak kenal menyerah. Sehari setelah malam itu, sepulang sekolah, masih berseragam, ia ke apartemenku. Seperti tak ada apa-apa ia menyapaku, membawakanku makan, dan menata apartemenku yang berantakan seperti biasanya. Sedang aku hanya menatapnya tak berdaya. Wanitaku, apa yang harus aku lakukan denganmu?
***
Malam awal bulan November, saat aku sedang nongkrong dengan teman-temanku di markas, seorang anak buahku menghampiriku dengan berlari, ia tampak panik. Begitu sampai di hadapanku, dengan nafasnya yang tak teratur ia melaporkan kalau Farah dalam bahaya, ia melihat Farah sedang dihadang geng lawan di jalan menuju apartemenku. Sial! Akhirnya mereka tahu tentang Farah. Semua salahku. Bodoh! Kalau mereka berani menyentuh Farah seujung jari pun, akan kubunuh mereka semua. Aku bersumpah! Sumpahku dalam hati sambil bergegas mengambil besi menuju tempat yang dimaksud bersama para anak buahku.
***
Untuk yang terkasih,
Farah.
Farah, bagaimana keadaanmu sekarang? Aku harap kau sudah membaik. Maaf karena aku tak ada di sampingmu saat kau sadar.
Farah, malam itu kenapa kau masih saja berniat mengunjungiku di apartemen? Bukankah sudah kulakukan semua hal yang bisa membuatmu untuk membenciku, meninggalkanku? Aku masih tak mengerti dengan pola pikirmu.
Tapi malam itu aku menjadi sadar akan satu hal, kalau kau benar-benar sangat mencintaiku, dengan tulus, sepenuh hati. Aku sangat menyesal pada diriku sendiri, kenapa aku sadar akan hal itu saat kau berada dalam bahaya, saat kulihat tubuhmu terkulai tak berdaya karena pukulan dan tendangan mereka -kau tak usah khawatir soal mereka, sudah kubuat mereka semua menyesal karena telah menyakitimu-, matamu masih saja menatapku dengan pandangan yang tak sepantasnya aku dapatkan, sinar mata yang kau tujukan padaku itu membuatku benar-benar tak berdaya, membuatku ingin selalu berada di sampingmu, membuatku ingin terus menjagamu, tapi juga membuatku harus merelakanmu meski aku tak ingin, membuatku semakin menyesal dan benci pada diriku sendiri karena telah membiarkanmu masuk dalam kehidupanku. Maafkan aku, Farah.
Farah, maafkan atas sikapku belakangan ini, semua itu aku lakukan agar kau membenciku dan meninggalkanku seperti yang aku katakan tadi. Bukan karena kau punya salah, tapi karena aku tak ingin kau berada dalam bahaya dan tersakiti. Maafkan aku karena tak berhasil melakukan itu hingga membuatmu terluka seperti sekarang, tubuh dipenuhi luka di rumah sakit dan tak segera sadar. Aku menyesal, Farah. Maafkan aku…
Malam itu telah kubuat mereka semua menyesal, Farah. Aku tahu kau tak suka, tapi aku tak bisa membiarkan mereka begitu saja setelah mereka membuatmu seperti itu.
Malam itu kau terluka parah, seluruh tubuhmu dipenuhi luka, kau tak sadarkan diri. Aku panik, Fa. Bergegas kubawa kau ke rumah sakit, aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan denganmu. Aku ketakutan, Fa. Benar-benar ketakutan. Aku tak tahu apa aku masih bisa hidup bila kau tak ada di dunia ini.
Semalaman aku menungguimu bangun, berharap aku akan melihat kembali sinar matamu, berharap dapat melihat kembali senyummu. Aku tak mau mempercayai perkataan dokter bahwa kau koma, aku tak bisa terima itu, Fa. Aku terus berbicara padamu, Fa. Berharap kau akan mendengar dan membalas omonganku, tapi tidak, kamu tak bangun, Fa. Kau terus saja diam dalam tidurmu. Aku tak berdaya, Fa. Melihatmu terbaring tak berdaya seperti itu membuatku tak memiliki kekuatan apa pun.
Paginya, kedua orang tuamu datang, mereka panik, kekhawatiran nampak jelas dalam wajah mereka. Mereka menangis begitu mendapatimu, anak satu-satunya mereka terbaring koma. Dan mereka melihatku di sampingmu, Fa. Aku tahu arti tatapan mereka. Memang akulah penyebabnya, jadi aku tak melawan dengan perlakuan mereka. Akhirnya, mereka tak mengijinkanku menemanimu, menungguimu sampai kau terbangun. Kupikir, memang begitulah sebaiknya, aku memang tak sepantasnya ada di sana, di sampingmu.
Pagi itu aku pergi, Fa. Bukan untuk meninggalkanmu, tapi untuk kebaikanmu, untuk keselamatanmu, untuk kebahagiaanmu. Aku yakin, nantinya akan ada orang yang lebih pantas untuk berada di sampingmu, tapi itu bukan aku.
Aku mencintaimu, Fa. Teramat mencintaimu. Tapi aku harus pergi. Aku janji padamu kalau kita tak kan pernah bertemu kembali, aku janji.
I love you, good bye…